Pendidikan Partisipatif, sebuah proses demoktratisasi
Demokrasi adalah istilah yang populer digunakan belakangan ini, baik oleh kalangan pemerintah, LSM maupun praktisi di dunia pendidikan. Salah satu prasyarat demokrasi adalah adanya partisipasi publik. Partisipasi publik tidak terjadi secara otomatis, melainkan dibentuk melalui budaya demokratis. Budaya demokratis antara lain dibentuk melalui proses pendidikan partisipatif.
Metode pendidikan partisipatif ini mulai digunakan oleh banyak kalangan, mulai dari kalangan LSM yang melakukan pendampingan masyarakat sampai ke pendidikan formal di sekolah-sekolah. Belakangan, dikenal sistem pendidikan yang disebut KBK atau kurikulum berbasis kompetensi, di mana para siswa-siswi SD sudah dibiasakan dengan berani presentasi di depan kelas dan membuat tanya jawab. Dalam sistem ini siswa diharapkan terlibat aktif dalam proses pendidikan sehingga informasi tidak hanya mengalir dari guru ke murid, tetapi juga dari siswa ke gurunya sehingga membentuk proses timbal balik yang diharapkan akan makin memperkaya materi pendidikan.
Sayangnya banyak guru mengeluhkan bahwa metode ini seringkali tidak berjalan, karena murid-muridnya pasif, tidak mau berbicara apalagi memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis. Murid-murid terbiasa bersekolah dengan cara menerima informasi searah, menelannya mentah-mentah dan mengingatnya untuk ulangan nanti.
Demikian pula di dunia pendampingan masyarakat, seringkali seorang pendamping lapang berusaha melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan mereka. Tetapi yang terjadi seringkali adalah mereka semua diam, tidak ada yang berani menyuarakan pendapatnya.
Bagaimana ini dapat terjadi?
Salah satu proses pendidikan yang terpenting dilakukan di dalam keluarga, di mana anak berinteraksi secara intensif dengan kedua orang tuanya dan kadang-kadang saudara-saudaranya. Proses pendidikan di rumah ini ikut membentuk perilaku anak di sekolah dan di masyarakat.
Sejak kecil banyak anak tidak dibiasakan untuk mengemukakan pendapat, menentukan pilihan-pilihan dan mengambil tanggung jawab atas pilihannya sendiri serta menanggung konsekuensinya. Banyak orang tua mengambil jalan pintas, mau gampang dan mengatur hidup anaknya, bahkan sampai hal-hal yang kecil. Orang tua tidak mau sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan anak yang seringkali ‘aneh-aneh’ dan tidak terpikir oleh kita, orang dewasa. Anak masih berpikir merdeka.
Dengan jawaban dari orang tua yang menunjukkan bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan bodoh, anak dianggap cerewet dan sebagainya, akhirnya anak kehilangan daya kritisnya dan akhirnya menjadi diam dan pasif. Ini merupakan proses sistematis pembungkaman suara-suara polos yang bertanya berdasarkan hati nurani.
Demikian pula ketika masuk sekolah. Biasanya anak yang belum masuk sekolah lebih aktif daripada anak yang sudah sekolah. Banyak sekolah dengan sukses membungkam anak-anak. Di awal masa sekolah, anak-anak yang aktif, apalagi yang keaktifannya tidak sesuai dengan harapan guru, seringkali dicap sebagai anak nakal. Mereka ini seringkali menjadi obyek hukuman dengan harapan mereka akan kapok. Akibatnya energi mereka yang sebetulnya besar, tidak dapat disalurkan di sekolah. Mereka tertekan dan sekolah menjadi sesuatu yang sangat membosankan. Akibatnya, mereka menyalurkan energinya di luar sekolah, dan seringkali dalam bentuk yang destruktif antara lain lewat tawuran dan narkoba. Melalui kedua hal itu mereka merasa eksistensi mereka di akui, meskipun di dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri.
Lalu bagaimana?
Contoh di atas menggambarkan bahwa partisipasi aktif masyarakat tidak dapat terjadi begitu saja. Ada prasyarat sebelum masyarakat dapat secara aktif dan konstruktif mengungkapkan pendapatnya atau menyuarakan kepentingannya. Selain menyediakan ruang-ruang agar publik dapat menyuarakan kepentingannya, yang tidak kalah penting, hal ini antara lain dilakukan dengan membangun perilaku partisipatif sejak kecil, misalnya mulai dari keluarga dan lingkungan sekolah yang paling dasar.
Mengubah budaya otoriter menjadi budaya demokratis tentu tidak mudah. Misalnya, sebagai orang tua yang demokratis membutuhkan kemauan dan usaha ekstra untuk memahami keinginan dan kepentingan anak menurut si anak sendiri dan tidak sekedar menyediakan apa yang kita pikir terbaik untuk anak. Demikian juga menjadi pemimpin yang partisipatif membutuhkan usaha ekstra untuk benar-benar memahami aspirasi yang muncul dari masyarakat. Dengan membiasakan perilaku demokratis sejak kecil dan mulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, harapannya akan tercipta budaya demokratis dalam masyakarat kita di masa yang akan datang. Mari kita mulai!
No comments:
Post a Comment