Monday 4 October 2004

Neoliberalisme Ketika uang makin digdaya …

“… neo-liberalisme tidaklah alamiah ... bisnis dan pasar memang punya tempat, tetapi tempat itu tidak bisa menjajah seluruh ruang hidup keberadaan manusia…”
—Susan George, dalam A Short History of Neoliberalism
pada Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Maret, 1999
Alkisah seorang perempuan karir bernama Yuni, asal Bandung, 29 tahun. Karena ingin selalu menjaga penampilannya, ia menuruti apapun kata iklan agar senantiasa tampil cantik, dengan membeli krim kulit yang mengandung vitamin E sebagai anti-ageing atau anti-penuaan karena sifatnya yang anti-oksidan sehingga kulit tetap halus dan shampoo yang juga diperkaya dengan vitamin E agar rambut makin subur. Sepanjang hari dan malam ia oleskan krim itu. Ia juga rajin keramas. Sebulan lebih, kulitnya tetap keriput di sini-sana, tak juga bertambah halus, dan rambutnya tetap kering serta tak subur. Ia pun ke dokter dan terpana mendengar jawaban jujur sang dokter itu: vitamin E, atau d-alfa tokoferol, hanya bisa diserap tubuh lewat pencernaan, bukan kulit, kulit kepala, apalagi rambut[1].
Kasihan Yuni. Demikian juga dengan ribuan atau jutaan Yuni yang lain di muka bumi ini. Terlena oleh iklan sesat yang memancing basic instinctnya sebagai manusia lemah, mereka menjadi korban keserakahan penumpukan laba besar-besaran. Betapa tidak, majalah The Economist[2] yang dikutip oleh Noreena Hertz[3] memaparkan bahwa dalam periode 1975 hingga 1996 diklaim sudah ditemukan 1.223 jenis obat baru. Namun, hanya 13 di antaranya dibuat untuk menangani berbagai penyakit tropis yang merenggut jutaan jiwa seperti malaria, tipus-kolera-disentri, demam berdarah, dan lain-lain. Sisanya?, adalah obat anti gemuk, penghalus kulit wajah, penghilang kerut, dan berbagai obat kosmetik lainnya[4]. Lepas dari tingkat kemanjurannya, jelas pasar obat-obat seperti ini sebagian besar adalah mereka seperti Yuni, yang mudah terlena dan tergiur oleh iklan.
Bagaimana kita memahami gejala semacam ini?

Gejala Baru: Tata Ekonomi Politik Baru
Sebuah tata eknonomi politik baru sedang melaju. Ia bukan gejala alamiah, namun bukan pula gerak sejarah yang tak terelak. Gejala ini lahir dari revolusi ekonomi liberal. Jantungnya adalah dilepasnya hak istimewa atas modal dari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional. Gejala ini melahirkan sebuah monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional. Nama gejala ini adalah ‘neo-liberalisme’[5].
Apa neo-liberalisme itu?
Menurut seorang ekonom B-Herry Priyono, arti neo-liberalisme…
“ …dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neo-liberalisme adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain dalam diri manusia (homo culturalis, zoon politikon, homo socialis, dsb). Kedua, sebagai kelanjutan pokok pertama, neo-liberalisme kemudian juga bisa dipahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riil dalam tata ekonomi-politik. Definisi yang pertama lebih menunjuk ‘kolonisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multi-dimensionalitas manusia, sedangkan definisi yang k
edua menunjuk ‘kolonisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multi-dimensionalitas tata homo oeconomicus itu sendiri.”[6]
Jelasnya, jantung neo-liberalisme adalah pada dua gagasan berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus. Artinya, cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah satu dari berbagai corak hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya corak yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi dalam transaksi ekonomi.
Kedua, gagasan ekonomi politik neo-liberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas modal yang dimiliki oleh pribadi (orang-perorangan) dilepaskan dari kaitannya dengan proses survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Bagi mereka yang pernah sedikit belajar ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal ini. Bila dalam liberalisme klasik (misalnya menurut Adam Smith) kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk menyejahterakan seluruh masyarakat, dalam neo-liberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat (misalnya gagasan Milton Friedman)[7].
Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi ekonomi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara, (2) pelaku utamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasional dan (3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme. Bagaimana ia bekerja?
Dalam globalisasi, praktik perdagangan bisnis transnasional didorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan internasional, yang kerap disebut sebagai aturan baru seperti GATT (General Agreements on Tariffs & Trade), GATS (General Agreements on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights), TRIMs (Trade Related Investment Measures), AoA (Agreement on Agriculture), dll. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didorong oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merk, dan label. Di bawah sadar ditanamkan prinsip kenikmatan, prestise, status, kemewahan pada banyak individu. Karenanya, akan lebih mudah dipahami bahwa ketika berbagai aturan baru tersebut mendesak berbagai negara untuk menerima mantra deregulasi, liberalisasi, privatisasi. Pada saat yang sama gaya hidup global, budaya, identitas yang diiklankan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lihat diagram di bawah ini.
Sumber: Yanuar Nugroho, Reinventing Globalisation, The Jakarta Post, 30 December 2002)
Ketiga hal ini berakar pada makin keramatnya hak pribadi untuk menumpuk laba. Untuk itulah, maka modal terus bergerak memburu kawasan-kawasan yang mendatangkan laba paling besar. Dan kawasan itu tidak saja berarti teritorial, melainkan semua bidang gerak. Maka disinilah kita berada pada periode dimana berbagai kawasan itu dijarah: kultur, hukum, politik, ilmu, tradisi, dan berbagai aspek dari kehidupan bersama secara intensif mengalami proses komersialisasi.
Maka, jelas jika agenda peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, demokrasi, perlindungan anak-anak, perempuan dan hak-hak asasi tidak menjadi prioritas. Artinya, kalau proses akumulasi laba ini juga diikuti peningkatan kesejahteraan, ya syukurlah. Tetapi kalaupun tidak, memang hal itu tidak pernah menjadi tujuan dari logika akumulasi laba. Meningkatnya kesejahteraan hanyalah akibat dan bukan tujuan dari gejala neo-liberalisme ini. Begitu juga dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia[8]. Dalam arus gejala ini, presiden boleh ganti, pemerintahan dan kabinet boleh berubah-ubah, bahkan dengan cara-cara yang sangat demokratis. Namun, yang lolos dari proses demokratisasi ini adalah kinerja akumulasi laba yang bebas keluar masuk suatu negara tanpa melalui pemilu. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Kekuasaan rakyat (democracy) yang diwujudkan dalam pemerintahan negara telah digilas oleh kekuatan uang dalam wajah kekuasaan korporasi (corpocracy), seperti digagas oleh Alvaro J. de Regil (2003)[9].
Dicatat oleh Medard Gabel dan Henry Bruner dalam bukunya Global Inc. (2004), corpocracy itu berekspansi secara drastis dari 3.077 (tahun 1914), ke 39.463 (1994), menjadi 63.312 perusahaan transnasional di tahun 2000. Sekitar 85% persediaan gandum di dunia dikuasai 6 perusahaan transnasional; lima perusahaan transnasional menguasai 90% dari industri musik; 7 perusahaan menguasai 95% industri film dunia dan 75% industri mobil dunia ada di tangan 6 perusahaan mobil[10].

Gejala Baru – Refleksi Baru

Selama ini, pembicaraan mengenai demokrasi dilakukan dengan pengandaian bahwa negara (dalam rupa pemerintah) adalah pemegang kekuasaan tertinggi masyarakat. Namun ingat, bahwa gagasan ini muncul dari sejarah melawan monarki pada abad 17-18. Dalam tata kekuasaan waktu itu, demokrasi merupakan gerakan untuk mengontrol kekuasaan monarki, karena kekuasaan merekalah yang punya konsekuensi paling besar terhadap hidup bersama.
Namun apa yang konstan dari target demokratisasi bukanlah sultan, raja, presiden, kaisar atau bahkan militer, melainkan setiap penggunaan kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama. Bahwa pada saat itu sosok kekuasaan tersebut berupa raja, presiden atau perdana menteri, adalah kontingensi historis (historical contingency) dan bukan keniscayaan logis (logical necessity). Tuntutan logis dari gerakan demokrasi adalah kontrol terhadap bentuk-bentuk praktek kekuasaan yang punya konsekuensi pada hidup bersama.
Saat ini, dalam kontingensi historis yang bertumpu akumulasi modal, muncul berbagai kekuasaan baru yang praktiknya punya konsekuensi besar pada hidup masyarakat. Salah satu yang terpenting adalah corpocracy tadi. Maka, pembicaraan mengenai tata dunia global tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis yang kini menggurita adalah wacana tanpa substansi. Namun, sebaliknya juga konsekuensinya: setiap wacana demokrasi tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis adalah wacana yang kekurangan isi[11]. Mengapa? Dalam benang ruwet kekusaan bisnis itu ada tersembunyi soal akuntabilitas yang tak tersentuh.
Mari kita lihat fakta sederhana berikut. Berapa besar gaji yang layak diterima seorang pimpinan puncak perusahaan (Chief Executive Officer, CEO) di Indonesia? Sementara benar bahwa pertanyaan ini secara normatif sulit djawab karena rumit, tergantung besar kecilnya perusahaan, jenis industri yang digeluti, kinerja perusahaan, dan sebagainya—Wall Street Journal punya jawaban itu. Per 5 Maret 2003, umumnya seorang CEO perusahaan besar di Indonesia rata-rata bergaji pokok Rp1,78 miliar per tahun. Kisaran gajinya, terendah Rp1,39 miliar dan paling tinggi Rp 4,8 miliar. Itu per tahun. Khusus di Jakarta, rata-rata gaji yang diterima para CEO lebih besar lagi. Data tersebut menyatakan bahwa umumnya para CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,98 miliar per tahun. Kisarannya, paling rendah per tahun seorang CEO di Jakarta menerima gaji pokok Rp1,55 miliar dan paling tinggi Rp5,37 miliar[12].
Maka, jika untuk gaji saja perusahaan mampu membayar setinggi itu, mengapa tidak hukum dan aturan dibeli untuk memuluskan sebuah praktik bisnis? Mengapa tidak kebutuhan masyarakat direkayasa? Maka soal pembuangan limbah, upah buruh atau hak konsumen mendapat informasi yang layak tentang sebuah produk, tak lebih rumit dari sebuah urusan bisnis biasa sehari-hari: jual-beli.
Catatan Akhir
Tahun 2002, WHO mengeluarkan laporan mengerikan. Empat juta orang mati karena infeksi saluran pernapasan; 2,2 juta kehilangan nyawa karena tipus, kolera, disentri; 1,7 juta jiwa melayang karena TBC; 1 juta tewas karena malaria dan 900.000 meninggal karena demam berdarah, sementara 3 juta lainnya mati karena AIDS[13]. Kehendak Tuhan? Di ujung refleksi, nampaknya tidak demikian. Kecuali kita mengakui bahwa seluruh hidup bersama kita, termasuk kesehatan adalah sebuah arena pencarian untung, kita tidak akan bisa memahami fenomena semacam itu, fenomena yang kini makin nampak seperti takdir tak terelak.
Gejala neo-liberal adala fakta tak terbantah dimana uang secara praktis sudah menjadi adidaya. Kepentingan politik bisa dibeli, hukum bisa ditekuk, aturan bisa ditarik ulur. Bahkan, hidup bisa diperjualbelikan. Maka, jangankan seorang Yuni, negara sebagai badan publik pun sudah tidak berdaya, bertekuk lutut di bawah kekuasaan kapital di jaman ini. (Yanuar Nugroho*)
***
*Pegiat sosial di The Business Watch Indonesia dan Uni Sosial Demokrat Jakarta
Mahasiswa pascasarjana pada PREST (Policy Research in Engineering, Science & Technology), The University of Manchester, Inggeris Raya


[1] Vitamin E hanya larut dalam lemak dan diserap bersamaan dengan lemak untuk kemudian masuk ke dalam darah dengan lipoprotein tertentu. Sebagai pelengkap, lihat Republika:
[2] Lihat The Economist, 10 Nopember 2001
[3] Lihat Noreena Hertz, The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy, London: William Heinemann, 2001.
[4] Porsi terbesar dana untuk riset obat-obatan dilakukan untuk riset kosmetik, anti gemuk dan kecantikan. Tahun 1998, dari 70 milyar dollar alokasi riset obat, hanya 300 juta dollar (0,43%) diperuntukkan riset obat AIDS dan 100 juta dollar (0,14%) untuk riset obat malaria. Lihat Noreena Hertz, op.cit.
[5] Lihat B. Herry Priyono dan Yanuar Nugroho dalam Selamat Datang Jaman Baru, Sinar Harapan, dimuat bersambung 5-6 September 2001
[6] Lihat B. Herry-Priyono, ‘Marginalisasi a la Neo Liberal’, Basis, Mei-Juni, 2004. Lihat juga B. Herry-Priyono ‘Dalam Pusaran Neoliberalisme’ dalam I. Wibowo & F. Wahono (eds), Neoliberalisme, Yogyakarta: CPS, 2003, hlm. 47-84.
[7] Lihat B. Herry-Priyono, 2003, op.cit.
[8] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[9] Lihat Alvaro J. de Regil, Neoliberalism and Its Dogma: The Implications of its Philosophical Postulates, The Jus Semper Global Alliance, 2003. Di sana ia menggambarkan corpocracy sebagai munculnya secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa dalam tata ekonomi politik global yang menentukan semakin banyak aspek kehidupan kita, mulai dari makanan, minuman, pakaian, kendaraan sampai film dan musik yang kita dengar.
[10] Medard Gabel & Henry Bruner, Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation, New York: The New Press, 2003, hlm. 31.
[11] Lihat B. Herry-Priyono dan Yanuar Nugroho (2001), op.cit.
[12] Sumber: The Wall Street Journal (Career Journal), 5 Maret 2003. Catatan: [1]. Kisaran kompensasi ini disusun berdasarkan angka terendah ( low salaries) dan tertinggi (high salaries) serta angka rata-rata ( average) untuk masing-masing posisi jabatan. [2]. Angka gaji terendah merupakan angka rata-rata dari 1/3 sampling frame populasi dan angka gaji tertinggi merupakan angka rata-rata dari 2/3 sampling frame populasi. Angka rata-rata (average) merupakan rata-rata keseluruhan sampling frame populasi. [3]. Bonus merupakan insentif dalam bentuk tunai yang diberikan dalam jangka waktu kerja tertentu. Bonus bisa berupa opsi saham, variable pay, bonus, penghargaan, dan komisi. [4]. Benefit merupakan kompensasi bukan tunai yang diterima berdasarkan angka estimasi rata-rata total sampling populasi.
[13] Lihat di www.who.int


No comments:

Post a Comment