Friday 7 October 2005

Dari Kedaulatan Pangan Menuju Keberdayaan Pangan[1]

David Sutasurya[2] & Any Sulistyowati[3]

Kedaulatan pangan adalah suatu pengertian yang didasarkan pada paradigma imperialisme, di mana suatu kekuatan secara paksa mengambil kebebasan negera lain. Pengertian kedaulatan muncul sebagai pengakuan atas hak suatu negara untuk mengendalikan negaranya sendiri. Oleh karena itu dalam "Food Sovereignty: A Righ for All", Pernyataan Politik NGO/CSO pada Forum Kedaulatan Pangan di Roma, 8-13 Juni 2002 yang lalu kedaulatan pangan didefinisikan sebagai,

"HAK setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan pertanian, ketenagakerjaan, perikanan, pangan dan tanah, sesuai dengan kondisi ekologi, sosial ekonomi dan budaya mereka".

Konsep imperialisme ini kemudian diperluas namun masih menyiratkan konflik vertikal antara negara utara dan selatan atau dalam suatu negera antara pemerintah dan rakyat. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam turunan konsep tersebut menjadi aksi. Misalnya La Via Campesina menyatakan bahwa persoalan bukanlah masalah kekurangan pangan tetapi masalah hak atas pangan. Hak atas pangan ini dapat dicapai antara lain dengan mereformasi perdagangan global, memberikan petani kontrol akan alat-alat produksi dan pertanian berkelanjutan.

Peta Konflik ke Depan

Salah satu ciri dominan peta konflik ke depan, dalam kaitan dengan pangan dapat dijelaskan dari peran perusahaan multinasional. Suatu jaringan lintas negara yang menguasai uang dan produk. MNC membuat konflik antar negara tidak lagi menjadi penting tetapi lebih sebagai salah satu bentuk metoda yang digunakan MNC untuk mencapai tujuannya.

Pengaruh MNC bisa muncul di mana saja dengan banyak alternatif instrumen. Selain melalui jalur ekonomi konvensional (sebagai sebuah perusahaan), mereka memiliki lobby kuat di tingkat negera, perundingan-perundingan internasional (walaupun mereka secara resmi tidak ada wakilnya). Semua itu dapat mereka jalankan dengan basis anggaran yang kuat.

Mereka juga layaknya sebuah negara dengan basis 'rakyat' yang cukup besar dan bersifat lintas negera. Para rakyat ini terlibat, baik sebagai tenaga kerja, konsumen, pemodal, mitra bisnis atau mitra politik. Di tingkat lokal situasinya sering tampak sebagai konflik yang tidak jelas maka kawan dan mana lawan, karena tidak mudah lagi mengidentifikasi keterkaitan antara seseorang dengan suatu perusahaan multinasional, tidak seperti pada konflik antar negera atau ras.

Yang paling mutakhir adalah: Keterkaitan seseorang pada suatu perusahaan multinasional seringkali terjadi secara sukarela, karena yang bersangkutan memperoleh keuntungan dari perusahaan itu. Secara global situasinya mirip dengan yang disebutkan dalam teori imperialisme, di mana kaum buruh ‘non pemilik modal’ disogok oleh kaum pemilik modal. Dengan kenyamanan hidup yang diperolehnya ini, kaum buruh yang disogok ini menjadi apatis dan tidak peduli atau tidak sadar bahwa mereka sebenarnya adalah para budak di bawah hegemoni perusahaan multinasional dan bahwa sogokan hidup yang diperolehnya itu sebenarnya diperoleh melalui penindasan/pemerasan terhadap kelompok non pemodal lainnya. Sogokan ini seringkali muncul sebagai semacam insentif bagi seseorang untuk masuk di bawah hegemoni.

Penyerahan Kedaulatan secara sukarela

Saat ini semakin disadari peran MNC dan kebijakan neoliberal yang dipromosikannya melalui berbagai jalur dalam berbagai produk pangan (salah satu yang mutakhir adalah makanan rekayasa genetik). MNC membuat berbagai pabrik di berbagai tempat, memperkerjakan banyak tenaga kerja (biasanya dipilih di tempat yang paling murah). Ini kemudian menjadi basis pengaruhnya di tingkat lokal.

Konflik seringkali tidak terjadi melalui penindasan langsung tetapi melalui insentif agar pihak yang ditindas menyerahkan diri ke dalam hegemoni mereka. Prosesnya dilakukan melalui berbagai cara halus seperti 'penyogokan' dengan gaji besar kaum non pemodal yang berstatus sebagai staff/karyawan. Walaupun tentu saja keuntungan jauh lebih besar akan tetap diperoleh pemodal dan uang yang digunakan oleh penyogok sering diperoleh melalui penindasan/pemerasan kelompok lain (buruh atau petani) ataupun dengan menciptakan kebergantungan (yang seringkali tidak perlu) kepada produk mereka.

Dengan menggunakan sistem insentif bagi para pekerja dan penciptaan kebergantungan konsumen sebagai senjata utama, tidak sulit bagi MNC untuk mengakui kedaulatan pangan tanpa sedikitpun merubah intensitas hegemoni mereka. Dalam hal ini situasinya adalah mereka tidak 'merebut' kedaulatan tetapi masyarakatlah yang secara sukarela meyerahkan kedaulatannya di bawah hegemoni MNC.

Lalu apakah perjuangan menegakkan kedaulatan pangan menjadi efektif dalam situasi demikian ?

Masyarakat sipil yang manja

Taktik memanjakan sekelompok masyarakat (dengan menguras sumberdaya masyarakat yang lain sehingga tidak terlalu mengurangi keuntungan yang diperoleh pemilik modal) adalah metoda baru yang perlu diwaspadai. Kelompok masyarakat yang dimanjakan inilah yang diharapkan memiliki daya beli yang cukup tinggi untuk produk-produk 'mewah' produksi MNC.

Tercipta sekelompok masyarakat yang hidup mewah dan apatis. Mereka merasa hidup mereka berkecukupan sehingga tidak merasa ada sesuatu yang salah. Misalnya,masalah pemerasan kelompok masyarakat yang lain untuk menghidupi kemewahan ini tanpa mengurangi keuntungan yang diperoleh pemodal tidak disadari atau terlalu dipikirkan. Mereka bahkan merasa hidup mereka bergantung pada pemodal dan tak dapat hidup tanpa mereka. Menjadi karyawan (baca: setengah budak) menjadi cita-cita kebanyakan golongan muda di Indonesia.

Kebergantungan juga tercipta antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini dilakukan semula melalui pengambilan paksa kedaulatan di berbagai tempat melalui berbagai kebijakan[4]. Akibatnya masyarakat terbuai untuk bergantung pada pemerintah, tanpa bersikap kritis tentang siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar pada situasi ini. Setiap ada masalah mereka bergantung pada pemerintah. Sementara itu sikap apatis yang semakin meluas ini membuat kotnrol terhadap berbagai elemen pemerintahan semakin lemah dan yang mengambil keuntungan adalah (sekali lagi) para pemodal. Akibatnya timbullah berbagai kebijakan yang sangat aspiratif kepada pemodal karena merekalah yang melakukan proses sistematis kepada berbagai elemen pemerintah. Sementara itu perkembangan sentralisasi kebijakan membuat proses mengakses kebijakan menjadi semakin mahal sehingga akhirnya para pemodallah yang paling memiliki sumberdaya untuk itu.

Contoh pada sektor pangan : kebergantungan pada BULOG untuk distribusi dan penyimpanan pangan, kebergantungan pada pemerintah untuk manajemen air.

Konflik kota-desa, penghisapan oleh kota, kehancuran bagi semua

Fenomena masyarakat sipil yang manja melalui proses penyogokan yang dananya diperoleh melalui eksploitasi kelompok masyarakat lain (yang menjadi korban), saat ini terkristalisasi menjadi kelompok masyarakat kota dan masyarakat desa. Urbanisasi adalah salah satu ciri masyarakat industri, meningkat pesat sejak pusat-pusat industri terbentuk pada awal revolusi industri dan sekarang semakin meningkat.

Orang kota khususnya kalangan menengah ke atas dapat diklasifikasi sebagai masyarakat sipil manja yang disogok. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat apatis yang hidup dalam hedonisme. Bagaimana sumberdaya untuk menyogok kelompok masyarakat ini diperoleh?

Revolusi hijau adalah teknologi yang muncul untuk melayani masyarakat kota. Intensifikasi produksi pangan sebenarnya dibutuhkan untuk memasok makanan untuk masyarakat kota yang tidak menanam makanannya sendiri. Masyarakat desa, apalagi petani kecil dan buruh tani, tidak mendapat keuntungan dari produksi makanan ini, malah kualitas hidupnya terus menurun. Pestisida, pupuk kimia dan sistem irigasi dll semakin menurunkan kualitas lingkungan pedesaan. Melalui kebijakan makanan murah, orang desa 'dipaksa' untuk mensubsidi orang kota secara finansial. Sementara itu para pemilik hegemoni justru dapat meningkatkan akumulasi modalnya.

Revolusi hijau adalah juga proses sentralisasi produksi. Input pertanian diperoleh secara tersentralisasi pada beberapa pabrik pupuk dan pestisida. Saat ini bahkan benih diproduksi secara tersentralisasi dengan dipromosikannya bioteknologi modern (rekayasa genetik dan kultur jaringan). Air diperoleh secara tersentralisasi pada bendungan-bendungan besar. Siapakah yang mendapatkan keuntungan pada proses produksi padat modal ini? Tentu saja para pemodal yang didukung oleh para semi-budak. Sentralisasi ini sekarang semakin mengkristal menjadi sentralisasi global di tangan MNC.

Para semi budak ini tidak sadar bahwa mereka hanya mendapatkan keuntungan untuk sementara. Kualitas lingkungan yang terus menurun pada akhirnya akan menurunkan produksi pangan itu sendiri dan setelah itu harga makanan akan semakin mahal. Dalam kondisi ini para semi budak akan menjadi miskin (daya belinya menurun karena makanan semakin mahal), sementara itu para pemodal masih akan mampu membayar, atau dengan cara tertentu mengambil keuntungan dari situasi ini.

Sebaliknya masyarakat desapun mulai terpengaruh dengan gaya hidup kota ini, apalagi dengan gencarnya propaganda di media yang mengiklankan gaya hidup ini. Masyarakat desa dan orang-orang miskin, yang miskin informasi dan pengetahuan adalah korban paling besar dari iklan produk pangan yang kurang berkualitas. Sementara sistem produksi pertanian desa diubah untuk menghasilkan pangan bagi masyarakat perkotaan; masyarakat desa ingin mengkonsumsi produk makanan orang kota, misalnya aneka produk makanan instan yang kualitasnya diragukan.

Peran kegiatan perdagangan

Agenda liberalisasi perdagangan yang dilancarkan atas dukungan para perusahaan multinasional sebagai pemilik modal dan pemerintah yang mengadopsinya dalam bentuk berbagai kebijakan pembangunan ikut memperparah kesenjangan antara kota-desa dan negara kaya -miskin. Liberalisasi perdagangan mengandaikan bahwa setiap negara memiliki kesempatan dan kekuatan yang sama dalam sistem perdagangan (lapangan permainan yang seimbang/even playing field). Persaingan akan didasarkan pada siapa yang paling kompetitif, dialah yang akan menang. Setiap negara memiliki keunggulan komparatif yang berbeda dengan negara yang lain. Agar efisien, negara-negara dituntut menjadi spesialis menurut keunggulan komparatif masing-masing. Sebagai hasil akhirnya, total output secara global akan maksimal.

Dalam kasus pangan, misalnya, paradigma ini menggeser paradigma swasembada pangan di tingkat negara menjadi di tingkat regional/global. Misalnya untuk menjamin kecukupan pangan, Indonesia tidak perlu memproduksi sendiri seluruh beras yang dibutuhkan, tetapi melihat di pasar internasional. Apabila harga beras lebih murah di pasar internasional, maka lebih baik Indonesia memproduksi produk-produk hasil industri yang lebih mahal dan membeli beras. Dengan demikian Indonesia akan memperoleh surplus dari perdagangan tersebut.

Kenyataannya kebijakan liberalisasi perdagangan ini tidak menyelesaikan masalah pangan dan kelaparan, tetapi justru menimbulkan masalah baru. Pertama, terbukanya pasar domestik pada produk pangan impor yang biasanya murah karena seringkali di negara asalnya disubsidi besar-besaran justru menyebabkan petani lokal (yang sudah terjebak pada mekanisme pasar modern) kehilangan daya saing. Akibatnya, ia tidak dapat bertahan dalam profesinya sebagai produsen pangan dalam jangka panjang karena tidak dapat bertahan hidup dengan profesinya sebagai petani. Dalam jangka panjang, kemampuan seluruh negara untuk memproduksi pangan di dalam negeri terancam. Kedua, begitu masuk dalam sistem ekonomi pasar, maka diperlukan sebagai alat tukar. Padahal saat ini uang pun menjadi komoditi yang diperdagangkan; yang nilainya berfluktuasi. Konsekuensinya harga panganpun akan berfluktuasi sesuai dengan nilai mata uang serta hukum permintaan dan penawaran. Akan ada saat-saat di mana harga makanan begitu murah dan sebaliknya di saat lain sangat mahal. Hal ini mungkin tidak masalah untuk kalangan atas, yang hanya menggunakan sebagian kecil penghasilannya untuk pangan; tetapi ini akan bermasalah sangat besar untuk kalangan bawah (mayoritas penduduk) yang sebagian besar penghasilannya digunakan untuk membeli pangan.

Ketergantungan pada sistem uang

Ekonomi modern menggunakan uang sebagai alat tukar yang praktis. Implikasinya, sistem ekonomi ini menghitung segala sesuatu dalam satuan uang. Misalnya GNP/GDP untuk menghitung tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara dan ukuran penghasilan dalam bentuk sejumlah uang tertentu untuk mengukur tingkat kemiskinan sebuah keluarga/komunitas. Sistem ini seringkali bias dan salah mengartikan realita. Petani-petani subsisten di komunitas-komunitas asli seperti Baduy mungkin memiliki sedikit sekali uang; tetapi kualitas hidupnya bisa jadi jauh lebih baik dari buruh di kota yang digaji di atas UMR. Dari segi pangan, petani-petani subsisten akan lebih aman posisinya dibandingkan dengan kaum buruh di kota yang sangat tergantung dari pangan murah hasil subsidi pemerintah dan penindasan kaum tani. Mereka ini sangat rentan pada kenaikan harga pangan, misalnya jika subsidi pangan dihapus atau harga BBM naik.

Masyarakat kota tidak memiliki mekanisme keamanan pangannya dalam jangka panjang dan menyimpan tabungannya dalam bentuk uang. Demikian juga pola revolusi hijau telah mengubah kebiasaan para petani modern dari budaya menabung dalam bentuk ternak, pohon buah-buahan dan hasil panennya menjadi dalam bentuk uang.

Padahal sistem uang ini telah terhubung secara global. Akibatnya, apa yang terjadi pada Bursa Saham di Tokyo atau New York akan mempengaruhi petani kopi di Timor. Dalam sistem yang sekarang, uang tidak sekedar menjadi alat tukar, tetapi juga komoditi. Artinya membeli uang untuk dijual lagi untuk memperoleh keuntungan berupa uang. Saat ini ekonomi uang mencakup 2/3 dari seluruh total ekonomi global dan nilainya berkembang jauh melebihi sektor riil yang menopangnya.

Sebagai komoditi, nilai uang juga berfluktuasi. Jika kita mendasarkan sistem tabungan kita pada uang, konsekuensinya nilai tabungan kita akan berfluktuasi pula sesuai dengan nilai uang. Celakanya, yang paling diuntungkan dengan sistem uang ini adalah para pemilik modal dan masyarakat banyak yang menanggung akibatnya. Contoh yang paling dekat adalah krisis moneter tahun 1999, di mana George Soros disebut-sebut sebagai salah satu kambing hitamnya. Dalam krisis tersebut, dalam waktu singkat penghasilan riil sebagian besar masyarakat Indonesia menurun hanya menjadi sekitar sepertiga sampai seperempat kali penghasilan semula, meskipun secara nominal angkanya naik.

Keberdayaan Pangan

Telah dijelaskan di atas bahwa taktik utama yang digunakan oleh para pemegang hegemoni saat ini adalah menciptakan insentif bagi kebergantungan masyarakat pada mereka. Insentif ini dijalankan melalui penyogokan melalui gaji besar untuk para karyawan atau iming-iming hasil produksi masksimal untuk para petani. Pemerintahpun menjadi pendukung mereka dengan janji perolehan pajak yang besar dan terbukanya lapangan kerja yang besar.

Padahal gaji itu diperoleh sebagai hasil penghisapan kalangan marginal (biasanya buruh dan petani) dan penciptaan produk yang memanjakan orang kota, antara lain dengan pemanjaan lidah dan kemudahan hidup, yang produksi dan penggunaannya biasanya juga merusak lingkungan dan mengandalkan kebergantungan konsumen dan produsen. Sementara untuk para petani; sejarah telah membuktikan bahwa peningkatan produksi dalam sistem pasar kapitalisme tidak akan menguntungkan petani dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, yang menyebutkan bahwa jika produksi meningkat maka harga akan turun. Mengikuti hukum ini, jika produksi berlebih dengan sendirinya harga akan turun yang artinya keuntungan petani akan ikut turun. Jika terjadi kelebihan produksi, maka petani akan merugi.

Sementara itu para pemegang hegemoni terus memperkuat diri dengan :

1. produk/teknologi yang semakin tersentralisasi secara global; yang paling canggih sentralisasi produksi benih dengan teknik rekayasa genetika dan kultur jaringan.

2. mengembangkan lobi-lobi politik untuk menciptakan iklim kebijakan yang kondusif seperti : hak paten, pendagangan bebas dan berbagai aspek ekonomi neoliberal lainnya yang menguntungkan mereka.

Dalam kondisi seperti ini, tidak ada proses perebutan kedaulatan secara kasat mata. Yang terjadi adalah penciptaan situasi yang mendorong penyerahan kedaulatan secara sukarela dan penciptaan pagar-pagar yang merupakan 'pemaksaan' penyerahan kedaulatan secara sangat halus dan canggih.

Dan pada akhirnya sekarang para pemegang hegemoni dalam keadaan yang cukup siap untuk mengakui secara formal kedaulatan tanpa kehilangan sedikitpun hegemoni de facto mereka. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat telah kehilangan kemampuan mereka untuk merealisasikan kedaulatan mereka.

Di sinilah letak pertempuran yang sebenarnya, selain mengembangkan strategi defensif[5] untuk menjaga kedaulatan pangan, saat ini sudah mendesak untuk melakukan proses pengembangan keberdayaan pangan. Yaitu: kemampuan masyarakat untuk menyediakan sendiri pangannya.

Masyarakat di sini adalah masyarakat tingkat akar rumput sampai tingkat yang paling kecil (sampai tingkat keluarga atau individu). Hal ini penting mengingat bahwa perang kedaulatan sekarang sudah tidak lagi pada tingkat negara tetapi di tingkat lokal menjadi konflik horisontal antar anggota masyarakat.

Pengembangan keberdayaan pangan ini akan membuat MNC kehilangan senjatanya. Ia akan kehilangan pasar karena masyarakat tidak lagi membutuhkan produknya. Ia akan kehilangan tenaga kerja karena masyarakat tidak lagi membutuhkan sogokan dari dirinya.

Bagaimana Mengembangkan Keberdayaan Pangan?

Kedaulatan pangan pada dasarnya dikembangkan dengan membuat masyarakat di tingkat akar rumput (termasuk di kota) dapat memproduksi makanan untuk dirinya sendiri, dengan demikian :

1. Situasi eksploitasi kota desa dihilangkan sehingga hilang kebutuhan untuk mengembangkan pertanian intensif yang merupakan lahan bisnis para pemegang hegemoni. Pestisida kimia dan bibit unggul yang hanya dapat dikembangkan oleh produksi intensif modal tidak dibutuhkan lagi.

2. Sebanyak mungkin memproduksi pangan untuk kebutuhan sendiri. Jika perlu pangan dari luar; maka dipilih yang diproduksi selokal mungkin. Dengan demikian yang memperoleh keuntungan dari proses produksi pangan adalah kita sendiri dan masyarakat di sekitar kita.

3. Mengurangi kebergantungan akan ekonomi uang dengan:

§ Meminimalkan kegiatan perdagangan yang selanjutnya akan mengerutkan ekonomi uang. Hal ini akan membuat para pemegang hegemoni semakin kehilangan kesempatan untuk meningkatkan akumulasi modal dalam bentuk uang.

§ Mengembangkan sistem pertukaran produk tanpa menggunakan uang, antara lain dengan sistem barter dalam komunitas-komunitas di tingkat lokal.

Membuat orang kota menghasilkan makanan sendiri dianggap mengurangi kesejahteraan orang desa. Hal ini tampaknya benar dalam kerangka ekonomi pertanian kapitalis. Padahal meskipun penghasilan orang desa dari segi uang meningkat, kualitas hidupnya justru menurun. Makanan bahkan perlu dianggap sebagai common resources sehingga tercipta kestabilan ketersediaan pangan dalam jangka panjang. Dalam sistem ini, makanan tidak akan terpengaruh oleh ketidakstabilan ekonomi. Uang akan semakin sedikit tetapi kualitas hidup semakin meningkat.

Pertanian bukan lagi menjadi kegiatan produksi dengan tenaga spesialis petani tetapi lebih merupakan kegiatan domestik semua orang. Petani bukan lagi menjadi profesi. Dengan ekoteknologi dapat dibuat sistem pertanian yang menghemat waktu dan tenaga sehingga waktu masyarakat dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan kebudayaan, pengetahuan dan spiritual yang akan meningkatkan kualitas masyarakat. Hal ini ditopang dengan sistem pendidikan yang merata yang akan meningkatkan kualitasi intelektual masyarakat.

Dalam percaturan ekonomi-politik saat ini ada berbagai peluang yang dapat kita ambil untuk mengembangan keberdayaan pangan :

1. Kembangkan ekonomi berbasis common knowledge yang tidak bisa dijangkau oleh IPR.

2. Setiap pengetahuan baru cepat-cepat didesimenasi sehingga cepat menjadi common knowledge. Hal ini dapat dengan mudah didukung oleh sistem komunikasi elektronik yang sudah berkembang pesat saat ini[6].

3. Kembangkan ekonomi berbasis sumberdaya dan lingkungan lokal. Pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia sangat kaya akan berbagai alternatif teknologi untuk mengembangkan ekonomi seperti ini. Teknologi seperti ini tidak terjangkau oleh IPR.

Untuk lebih memuluskan strategi di atas, kita juga dapat melakukan sejumlah perubahan kebijakan makro. Dari segi kebijakan, kondisi makro apa yang mendukung terjadinya keberdayaan pangan ini?

1. Harga pangan harus merefleksikan biaya produksi yang sebenarnya. Saat ini harga pangan murah karena subsidi dari pemerintah atau melalui eksploitasi terselubung terhadap kaum tani. Dengan harga pangan yang baik, minimal mencerminkan biaya produksi, akan mendorong semakin banyak orang untuk meproduksi pangan. Ini akan mengurangi urbanisasi dan membuat sektor ekonomi di desa-desa bergerak. Untuk kota sendiri akan menguntungkan karena mengurangi kepadatan penduduk yang membebani sumber daya kota.

2. Alokasikan luasan lahan yang cukup untuk petani, terutama untuk produksi pangan. Banyak petani kecil, terutama di Jawa tidak dapat hidup dari sektor pertanian karena lahannya terlalu kecil, sementara itu banyak lahan-lahan kosong dalam bentuk villa tanpa penghuni, padang rumput liar maupun alang-alang dimiliki oleh orang-orang kaya. Banyak lahan pertanian kelas satu yang semula untuk memproduksi pangan diubah untuk industri, perkebunan atau pertanian cash crop berorientasi ekspor karena dianggap lebih menguntungkan. Ini adalah bentuk-bentuk pemborosan penggunaan sumberdaya.

3. Desentralisasi produksi pangan. Desentralisasi produksi pangan akan meminimalisir biaya penyediaan dan distribusi pangan di tingkat nasional. Biaya tersebut antara lain biaya transportasi dan pergudangan dan penyediaan input-input pertanian. Daerah dapat menentukan sendiri kebijakan pangannya dan sedapat mungkin memproduksi kebutuhannya sendiri sampai di tingkat keluarga atau komunitas. Dengan demikian, misalnya beban daerah-daerah penghasil beras untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional dapat berkurang. Ini menuntut cara baru pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bidang ekonomi; terutama pangan.

4. Pertanian yang didukung oleh teknologi lokal yang terdesentralisasi; misalnya pertanian organis. Pertanian organis tidak membutuhkan pupuk dan pestisida kimia; apalagi membeli benih transgenik buatan pabrik. Petani dapat membuat sendiri asupan pertaniannya; alat produksinya. Pertanian organis juga mensyaraktkan petani memiliki luasan lahan tertentu agar optimal. Dari karakteristiknya pertanian organis akan mendobrak hegemoni perusahaan multinasional penjual pupuk dan pestisida kimia. Hanya saja, yang perlu dicermati dalam pengembangan pertanian organis ini adalah jangan sampai terjebak pada paradigma lama; yang mengakibatkan perusahaan multinasional menjual pupuk dan pestisida alami dan menjadi pedagang utama produk pertanian organis untuk pasar ekspor. Jika ini yang terjadi pertanian organis akan kehilangan esensinya.

***



[1] Disiapkan untuk Seminar dan Lokakarya Membangun Kedaulatan Pangan Berbasis Gerakan Rakyat, Jakarta, 7-8 Mei 2003.

[2] Direktur Eksekutif Yayasan Biosains dan Bioteknologi.

[3] Peneliti ELSPPAT.

[4] Misalnya kebijakan pangan murah semasa orde baru.

[5] Sekalipun tidak menjadi satu-satunya yang esensial perjuangan ini tetap penting mengingat para pemegang hegemoni secara formal tetap akan berusaha tidak mengakui kedaulatan untuk mengangkat posisi tawar mereka.

[6] Teknologi yang fitrahnya bersifat nontersentralisasi ini sangat ideal karena tidak dapat dikuasai oleh siapapun. Namun di tingkat internasioal tetapi perlu diwaspadai setiap usaha penguasaan teknologi ini.

No comments:

Post a Comment