Sunday 11 February 2007

Multi Beban atau Multi Peran: Ketidakadilan atau Anugerah?

Tini (33th), adalah seorang perempuan yang telah menikah dan memiliki satu orang anak. Sebagai perempuan muda yang cerdas dan terampil, di tempat kerjanya Tini dipercaya sebagai manajer personalia. Setiap hari ia bangun pukul 04.00, lalu mulai mengerjakan pekerjaan rutinnya: memasak, membuatkan kopi dan jus untuk anak dan suami, menyiapkan pakaian anak dan suaminya, membangunkan dan memandikan anaknya, serta menyiapkan anaknya ke sekolah juga menyiapkan dirinya untuk ke kantor. Pukul 06.00 mereka sekeluarga pergi, suaminya ke kantor, anaknya ke sekolah dan dia sendiri ke kantornya. Pulang dari kantor, Tini langsung ganti pakaian, membersihkan rumah, menyiapkan makan malam, memandikan anak, menemani anak mengerjakan tugas dan belajar, serta menidurkan anaknya.

Rutinitas seperti ini ia jalani dari hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu biasanya ia isi dengan mencuci dan menyetrika, ikut pengajian dan arisan di RT, dan menemani anak bermain di taman kota. Sedangkan hari Minggu biasanya ada pertemuan ibu-ibu Dharma Wanita ataupun kelompok PKK. Tini mesti ikut pertemuan ini walaupun ia malas sebenarnya, karena Tono suaminya adalah pegawai negeri yang sedang dipromosikan jabatannya. Demi menunjang karier sang suami, Tini diminta untuk aktif dalam kegiatan Dharma Wanita dan juga kegiatan-kegiatan lainnya di kantor Tono.

Kisah Tini di atas adalah sebuah kisah ”biasa” yang dialami oleh banyak perempuan di Indonesia. Sebagai seorang perempuan, sejak kecil telah dikonstruksi dan disosialisasi dengan peran gender tertentu. Peran gender perempuan adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduktif dan domestik, misalnya mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci, dll. Sebagai istri dan ibu, seorang perempuan sekaligus dituntut untuk berkorban dan melayani suami dan anak-anaknya. Walaupun ia bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah (biasa disebut kerja produktif), tetap saja sebagai perempuan ia dituntut untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (biasanya disebut kerja reproduktif). Sebagai warga RT dan umat agama tertentu, perempuan biasanya yang mengambil peran membangun relasi sosial dengan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan. Belum lagi jika sang suami adalah pegawai negeri atau pegawai di kantor tertentu yang menuntut istri untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan di kantornya sebagai upaya menunjang karier sang suami. Peran yang terakhir ini biasanya dikenal sebagai peran sosial.

Ketiga peran atau kerja ini, yaitu kerja reproduktif, produktif dan sosial, biasanya hanya di”harus”kan bagi perempuan. Kerja atau peran yang dikonstruksi dan disosialisasi ini menjadi beban yang bertumpuk bagi seorang perempuan. Dari seluruh pekerjaan, perempuan mengerjakan lebih banyak tapi dibayar lebih rendah. Jam kerja dan curahan tenaga kerja perempuan lebih banyak dari laki-laki. Bahkan, seorang ibu pernah berkata pada saya bahwa ia merasa sangat bersalah ketika ia ingin berjalan-jalan di pertokoan sekedar untuk bersantai sejenak. Ia merasa egois karena harus meninggalkan anak dan suaminya untuk ”bersenang-senang”. Hidup bagi seorang perempuan (ibu) adalah untuk membahagiakan keluarganya (yang berarti anak dan suaminya-seringkali tidak termasuk dirinya).

Kondisi beban yang bertumpuk ini biasanya dikenal sebagai istilah ”Multi Beban”, dan oleh kalangan feminis disebut sebagai salah satu dari lima bentuk ketidakadilan gender (Stereotiping/pelabelan/citra negatif, kekerasan, multi beban, marjinalisasi/peminggiran secara ekonomi, dan subordinasi/penomerduaan).

Sekarang, kita lihat kelanjutan kisah Tini-Tono dua puluh tahun kemudian:

Tono (65th) baru saja memasuki masa pensiunnya. Perayaan pelepasan diadakan besar-besaran di kantornya dan juga di rumahnya. Tini dan Sofie, anaknya sibuk memasak dan menyiapkan pesta di rumah. Semua kerabat dan handai taulan hadir untuk mensyukuri masa purna kerja Tono. Pada minggu-minggu awal masa pensiunnya, Tono sungguh menikmati kebebasan hidupnya. Kini ia terbebas dari kewajiban untuk berangkat kantor dan bekerja 8 jam sehari. Ia bisa berjalan-jalan dan tidur semaunya, menonton film dan berbelanja. Tapi, setelah satu minggu, semua tempat sudah ia datangi, semua film sudah ia tonton, tidurpun sudah puas. Ia mulai bosan dan kesepian di rumah sendiri, karena Sofie bersekolah sedang Tini sekarang menjadi asisten direktur yang semakin sibuk. Tono ingin beraktifitas lagi, ia mencari-cari kesibukan di rumah. Ia ingin membuat kejutan untuk istri dan anaknya dengan membuat pesta kecil-kecilan. Ia ingin mulai dengan membersihkan rumah dan mendekorasinya, kemudian masak makanan istimewa. Tapi, ketika ia memulai pekerjaannya, Tono kesulitan mencari alat-alat rumah tangga yang ia butuhkan. Ia juga tidak tahu caranya mengepel dengan alat pel yang mereka punya, tidak tahu dimana letak pisau dan alat dapur, tidak tahu cara menyalakan kompor, juga tidak tahu segala macam bumbu yang ada. Tono akhirnya frustasi, ia menggagalkan rencananya. Ia akan membuat kopi saja untuk dirinya. Tapi sekali lagi ia tidak tahu dimana Tini menyimpan kopi dan gula, dan berapa ukuran kopi dan gula yang biasa Tini buat untuk dirinya.

Ketika Tini pulang, Tono mulai bertanya-tanya banyak hal tentang urusan rumah tangga pada Tini. Dasar sudah mulai tua, Tono suka lupa hal-hal yang sudah dikatakan Tini sehingga kerapkali Tono mengulangi pertanyaan yang sama. Akhirnya Tini ikut frustasi juga.

Tono sekarang berpikir untuk mengalihkan kegiatannya di luar rumah. Ia yang biasanya menjadi pemimpin di tempat kerja dan rumahnya akan mati kebosanan kalau hanya duduk diam di rumah seperti orang jompo. Ia mencoba ikut kegiatan di lingkungannya, tapi kebanyakan kegiatan itu dihadiri oleh ibu-ibu.

Nah, kasus si Tono ini biasanya dikenal sebagai ”Post power syndrome”, yang memang seringnya berjangkit pada bapak-bapak yang sudah mulai pensiun atau tua. Mereka yang biasanya bekerja produktif-menghasilkan uang yang notabene simbol kekuasaan; dan juga biasanya menjadi pemimpin, sekarang harus kehilangan semuanya. Ketika mereka ingin beralih ke kerja reproduktif dan sosial, seringkali mereka ”kagok ” atau tidak terbiasa.

Pembagian peran gender yang berujung pada Multi beban bagi perempuan, ternyata punya dampak juga bagi laki-laki. Beban berlipat di satu sisi menjadi multi-ketrampilan di sisi lain, yang bisa menjadi bekal untuk bertahan hidup (jika si subyek belum keburu ’tewas’ karena keberatan beban- dengan kata lain jika ia menjadi survival). Sebaliknya, kekuasaan yang berlipat di satu sisi mendatangkan ’kuasa’ tapi juga keterpurukan ketika ia hilang. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan multi peran/kerja menjadi keterbatasan modal untuk bertahan hidup ketika kuasa tidak ada lagi. (ID)

No comments:

Post a Comment