Pernahkan anda berpikir berapa banyak korban peperangan dan kerusuhan massal di dunia ini ?
Pernahkan anda menilik seberapa sering agama dijadikan bendera oleh suatu kelompok untuk menindas kelompok lainnya ?
Saat ini semakin banyak aktivis yang berusaha menilik persoalan struktural di balik berbagai bentuk pemiskinan dan penindasan. Namun apakah anda pernah memikirkan persoalan struktural yang melandasi berbagai kerusuhan yang menggunakan agama sebagai benderanya?
Akhirnya, sebenarnya beranikah anda sekedar memikirkan hal tersebut ?
Bila di depan anda sekarang terletak buku berjudul Lajja, anda penggemar sastra dan tertarik untuk membacanya karena tampilan sampul yang cukup indah, anda perlu berhati-hati. Siapkah anda menangkap realitas baru yang selama ini mungkin tidak anda pikirkan atau tidak mau anda pikirkan ?
Lajja adalah sebuah novel karangan Taslima Nasrin. Novel ini ditulis hanya dalam waktu tujuh hari. Kisahnya berlatar penganiayaan orang Hindu, kaum minoritas di Bangladesh, oleh orang-orang muslim yang merupakan mayoritas. Penganiyaan ini dipicu oleh penghancuran Masjid Babri dan penganiayaan kaum muslim oleh kaum Hindu fanatik di India.
Lajja terjual 60.000 eksemplar, sebelum dilarang oleh pemerintah Bangladesh lima bulan kemudian. Namun pembungkaman itu tidak ada artinya, karena sekarang Lajja telah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa, dan menghasilkan banyak penghargaan internasional.
Label yang menjadi kutukan
Bangladesh adalah sebuah negara baru yang diikat oleh kesamaan ras, yaitu ras Bengali. Namun ras tersebut terbagi menjadi dua kelompok agama yaitu Islam dan Hindu. Pada saat kemerdekaan, disepakati negara ini menjadi negara Sekular.
Seruan Joi Bangla yang mempersatukan kedua kelompok pada saat perang kemerdekaan, dengan cepat tererosi. Kaum Muslim fundamentalis, yang sebenarnya menentang kemerdekaan Banglades (karena kesamaan agama dengan Pakistan), berhasil menguasai panggung politik.
Tahun 1978 Islam dijadikan sebagai agama negara dan kata Bismillah resmi masuk ke UUD.
Novel Lajja mengungkapkan realitas yang ironis. Semangat sekuler yang menjiwai perjuangan kemerdekaan yang memakan tiga juta nyawa, menjadi sia-sia akibat berkuasanya kelompok yang sebelumnya justru menentang kemerdekaan !
Tokoh utama dalam cerita tersebut adalah Suranjan, seorang pemuda idealis yang bertekad menyebarkan sosialisme dan menentang berkembangnya komunalisme di negaranya. Tokoh utama kedua adalah Sudhamoy, seorang dokter yang bisa dikatakan menjadi asal muasal idealisme Suranjan.
Sudhamoy adalah seorang Hindu nasionalis. Ia selalu memarahi orang Hindu lain yang lari ke India, akibat penindasan dari kaum Muslim fundamentalis. “Mereka yang kabur meninggalkan negerinya sendiri adalah orang-orang biadab”, ujarnya suatu saat. Ia meyakini bahwa kaum Hindu Bengali seharusnya memperjuangkan nasibnya di negara sendiri, dan bukannya lari terbirit-birit ke negara tetangga hanya karena agama penduduk mayoritasnya sama-sama Hindu.
Sudahmoy sendiri adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Bengali. Saat ditangkap oleh tentara Pakistan, statusnya sebagai Bengali Hindu membuatnya mendapatkan siksaan lebih berat daripada rekannya, sesama pejuang kemerdekaan, yang muslim. Ia disiksa, sampai tulang iga dan kakinya patah dan penisnya dirusak, karena tidak mau mengucapkan syahadat. Teror di kampung halamannya Mymensingh telah membuatnya terlempar di rumah kontrakan gelap dan lembab di Dhaka. Begitu banyak penindasan terhadap kaum Hindu lainnya yang ia saksikan dan dengar sepanjang hidupnya. Namun ia tetap teguh pada nasionalisme, kemanusiaan dan nonkomunalisme.
Pendidikan Sudhamoy pada Suranjan mendorong Suranjan menjadi manusia yang nonkomunal. Salah satu momen yang paling berkesan bagi Suranjan adalah pada saat Suranjan remaja dijebak oleh seorang temannya yang muslim untuk makan kebab daging sapi. Tangisan Suranjan, akibat olok-olok dan pelecehan fisik teman-temannya yang bangga menjebaknya makan daging yang haram bagi orang Hindu, justru ditanggapi dengan canda oleh Sudhamoy. Keesokan harinya Sudhamoy malah membelikannya daging Sapi dan meminta Kironmoye, istrinya, untuk memasaknya dan memakannya bersama.
Namun pada kenyataannya posisi sebagai orang Hindu ternyata tidak lagi menjadi sebuah pilihan bebas. Kata Hindu menjadi label yang dilekatkan padanya karena namanya Suranjan dan ayahnya Sudhamoy. Suranjan yang tidak pernah mengunjungi kuil, non komunal dan penganut sosialisme, tetaplah seorang Hindu. Satu-satunya cara yang dapat diterima kaum muslim fundamentalis Bangladesh untuk melepaskan seseorang dari label Hindu, beserta segala ‘kutukan’ yang menyertainya, adalah mengganti nama menjadi nama muslim dan mengucapkan syahadat.
Pengingkaran yang sia-sia
Para Bengali nasionalis, yang dalam kisah ini diwakili oleh Sudhamoy dan Pemimpin redaksi majalah Etaka, berusaha untuk tetap optimis pada kuatnya kebangsaan Bengali. Untuk itu mereka menanggapi realitas kerusuhan ini dengan mengabaikan kemungkinan agama sebagai faktor penyebab konflik.
Ketika bekerja sebagai reporter majalah Etaka, Suranjan pernah ditegur karena laporannya selalu dipenuhi berita tentang penganiyaan orang Hindu oleh kaum Muslim fanatik. Redakturnya berkata:
“Kau paham Suranjan, semua ini adalah soal siapa yang kuat menindas mereka yang lemah, orang-orang kaya menindas orang-orang miskin. Jika kau kaya, tidak terlalu penting apakah kau Hindu atau Muslim. Sayangnya ini merupakan aturan masyarakat Kapitalis.”
Analisis khas Marxist ini gagal menjelaskan kenyataan bahwa suatu saat Sudhamoy pernah menjadi orang kaya dengan berhektar-hektar lahan subur. Dan justru ketika itulah, ia mulai mengalami tekanan-tekanan (termasuk penculikan Maya, anak perempuannya), Tekanan ini begitu kerasnya sampai akhirnya ia terpaksa menjual tanahnya, yang seharusnya seharga satu juta taka, menjadi hanya 200.000 taka dan mengungsikan keluarganya ke kota Dhaka di sebuah rumah kontrakan yang gelap dan lembab.
Saat mendengar tetangganya bernama Goutam dipukuli anak-anak muda tetangga mereka yang muslim, Sudhamoy berkata “Mereka pasti menghajar Goutam karena masalah pribadi. Apa benar ia pecandu ganja ?”. Tetapi, ternyata ternyata realitas bertentangan dengan analisisnya. Goutam hanya membeli telur dan tahu-tahu ia dipukuli sambil ditertawakan, termasuk oleh si pedagang.
Kenyataannya, sejak kecil Suranjan sudah harus belajar menerima fakta bahwa posisinya sebagai orang Hindu, membuatnya harus menerima nasib sebagai orang yang selalu ditindas. Pada saat Suranjan kecil bertengkar dengan temannya yang (kebetulan) Muslim, sampai keduanya mengeluarkan kata-kata makian paling kotor yang mereka miliki, rekannya yang muslim mengeluarkan kata ‘Hindu’. Dari situ Suranjan belajar bahwa bagi temannya yang muslim, kata Hindu sama dengan najis.
Selama setahun setelah Sudhamoy dibuang dari tahanan sebagai orang cacat, sampai menjelang kemerdekaan Bangladesh, keluarga Sudhamoy harus berganti nama menjadi nama-nama muslim. Sekali lagi, status mereka sebagai orang Hindu membuat mereka harus mengalami penindasan lebih berat dibandingkan kaum Muslim.
Mungkin upaya untuk tidak mengakui bahwa konflik yang sedang terjadi adalah konflik antar agama sebenarnya tidak lain untuk menjaga sebuah comfort zone, bahwa mereka sebagai Bangsa Bengali Hindu tidak harus lari ke negara lain, hanya karena agama mereka sama dengan penduduk Mayoritas di negeri Jiran tersebut.
Ataukah justru agama menjadi semacam teror yang menakutkan sehingga tidak banyak yang berani mengkritisinya ? Terkait dengan konflik di Kosovo, Koffi Annan berusaha menekankan bahwa ini adalah konflik antar etnis dan bukannya antar agama (maka disebut sebagai pembantaian Etnis). Padahal baik kaum Serbia maupun Albania menggunakan bahasa Serbo-Croat sebagai bahasa ibunya. Jadi konflik Kosovo bukanlah konflik antar entnis tetapi koflik intra etnis. Yang terjadi sebenarnya adalah Kaum Serbia yang beragama Katolik Ortodox membantai Kaum Albania yang beragama Islam. Namun ada rasa takut untuk mengakui bahwa konflik di Yugoslavia adalah konflik antar agama. Sangat mirip dengan konflik di Bangladesh, hanya saja pembantainya menggunakan bendera yang berbeda.
Di Bangladesh, pembantaian dan perusakan aset kaum Hindu disebut sebagai kerusuhan atau huru-hara. Ini sekali lagi untuk mengubur dalam-dalam kenyataan bahwa yang terjadi adalah suatu kelompok menindas kelompok lainnya atas nama agama.
Banyak pertanyaan lain yang bersliweran selama anda membaca buku Lajja. Semuanya mempertanyakan, mengapa koflik di Banglades tidak diakui sebagai konflik antar agama ?
Mengapa keluarga Sudhamoy harus berlindung di rumah sahabat-sahabat muslimnya agar dapat selamat dari kerusuhan yang terjadi pada tahun 1990 ? Mengapa Kironmoye tidak dapat lagi menggunakan sankha dan sindur sejak tahun 1975? Mengapa Maya harus kehilangan murid lesnya karena orang tua muridnya itu mencari guru les yang muslim ? Mengapa begitu banyak tempat yang secara tradisional menggunakan nama Hindu diganti dengan nama-nama berbau Islam ? Mengapa jumlah orang Hindu Bengali terus turun, dari 33% pada tahun 1901 menjadi tinggal 12.1% pada tahun 1981? Mengapa begitu sedikit orang Hindu yang mendapat jabatan tinggi di pemerintahan ?
Tidakkan itu petunjuk yang begitu jelas bahwa Agama telah menjadi sumber konflik ?
Runtuhnya sebuah keyakinan
Tekanan Komunalisme yang keras sepanjang beberapa hari sejak dirusaknya Masjid Babri, akhirnya membawa Suranjan dan Sudhamoy secara tak disadari mengingkari keyakinannya akan non komunalisme. Akhirnya Suranjan lebih merasa nyaman mengunjungi temannya sesama Hindu, padahal sebelumnya Ia lebih banyak bergaul dengan teman-temannya yang muslim karena kesamaan Ideologi. Sudhamoy mulai merasa marah dengan penghancuran kuil-kuil Hindu, walaupun ia sudah lama tidak berdoa apalagi mengunjungi sebuah kuil. Dan akhirnya, penculikan dan pembunuhan Maya, anak perempuannya, membuat Ia tidak bisa menghindar untuk lari ke India.
Bagi kita para aktivis, berubahnya suatu keyakinan hanya akibat tekanan memang bukanlah suatu hal yang dapat dibenarkan. Tetapi di sisi lain runtuhnya idealisme Sudhamoy dan Suranjan memang dapat dipahami.
Penindasan orang-orang Hindu telah berjalan lama sebelumnya. Orang Hindu bernasib sama buruknya saat Bangladesh masih dijajah Inggris, masih tergabung dengan Pakistan ataupun setelah kaum Bengali memiliki negara sendiri. Dulu Sukkumar Dutta, ayah Sudamoy, menyatakan “aku tidak akan meninggalkan harta nenek moyangku. Perkebunan kelapa dan buah pinang, berhektar-hektar sawah dan padi yang subur”. Namun akhirnya Sudamoy harus menjual tanahnya dengan harga murah dan tinggal di sebuah rumah kontrakan di Dhaka. Perulangan penindasan walaupun kondisi politiknya sudah jauh berbeda, adalah sangat menyakitkan.
Upaya Sudhamoy dan Suranjan untuk menolak kenyataan bahwa status mereka sebagai orang Hindulah yang membuat mereka tertindas, menjadi kesia-siaan. Dan, upaya mereka berpegang teguh pada keyakinan tersebut justru menjadi sumber kebingungan baru yang malah menjadikan mereka secara tidak sadar mengingkari keyakinan mereka sendiri.
Globalisasi fundamentalisme Agama
Pertumpahan darah dan penindasan atas nama agama, seperti yang dialami kaum Hindu di Bangladesh, ternyata merupakan sebuah fenomena global dan sejarahnya sama panjang dengan sejarah munculnya agama-agama besar. Perang Salib, adalah peperangan global pertama, di mana pasukan Eropa datang ke Timur tengah untuk merebut ‘Tanah Suci’ dari kekuasaan kaum Muslim.
Agama dapat disebut sebagai institusi global pertama. Kebanyakan agama besar memiliki mekanisme untuk menyebarkan agamanya ke seluruh dunia. Karena itu konflik antar agama besar kemungkinan meluas melintasi batas-batas negara. Penganiayaan terhadap kaum Hindu akibat dirusaknya masjid Babri di India, adalah contohnya.
Ada banyak contoh lain yang pernah terjadi dan mungkin terus akan mewarnai sejarah umat manusia. Penggunaan label agama pada konflik antara Inggris Raya dengan Irlandia utara. Penindasan oleh Kaum Katolik Roma kepada Kaum Katolik Orthodox. Perusakan Masjid Babri pun ternyata tidak saja berbuntut ditindasnya kaum Hindu di Bangladesh. Bersamaan dengan itu, ribuan kaum muslim dibunuh oleh kaum Hindu fanatik di India. Situasi ini membuat Suranjan sangat geram.
Menarik untuk diadakan penelitian, berapa jumlah orang yang menjadi korban akibat konflik antar agama ini dibandingkan dengan konflik antar ras dan antar negara. Sepintas tampaknya label agama lebih sering digunakan.
Perang terhadap terorisme, yang mendorong terjadinya serangan Amerika ke Irak dan Afganistan, adalah bentuk mutakhir dari penggunaan agama dalam pertentangan global. Perlu diingat bahwa George Bush menjadikan kaum Kristen konservatif sebagai salah satu basis utama pendukungnya. Kenyataan bahwa pada tingkat global pertentangan agama yang lebih banyak terjadi, adalah salah satu fakta yang mengindindikasikan bahwa ke depan dunia yang mengglobal dapat mendorong semakin banyak pertentangan berbendera agama daripada pertentangan antar bangsa.
Demikian pula di Indonesia, pada saat nation state sudah semakin terbentuk, maka pertentangan antar agamalah yang masih tersisa, bahkan cenderung meruncing. Sementara perkawinan antar ras semakin banyak terjadi, perkawinan antar agama semakin sulit. Hubungan antar ras tidak pernah menjadi persoalan dalam pembuatan undang-undang, tetapi tidak demikian dengan hubungan antar agama.
Perulangan suatu peristiwa secara global dan secara historis, adalah indikasi bahwa ada persoalan struktural dalam konflik antar agama ini. Novel Lajja dengan tajam menunjukkan gagalnya paradigma nasionalisme ataupun Marksisme untuk memahami realitas yang terjadi dalam kerusuhan di Bangladesh. Artinya, ada suatu fenomena struktural inheren di dalam institusi agama, yang berperan dalam berbagai peristiwa penindasan tersebut.
Bila saat ini cukup banyak aktivis yang berani menganalisa masalah sosial-ekonomi secara struktural, berapa banyak yang berani menganalisa masalah konflik agama secara struktural? Terlebih lagi, adakah yang berani menyentuh ranah institusional agama yang selama ini dicitrakan suci itu ? Bila kita mau, tidak sulit untuk melakukan pembedaan antara ajaran murni suatu agama dengan institusi formal yang melingkupinya.
Ribuan korban jiwa akibat konflik berbendera agama merupakan alasan moral untuk menyentuh ranah institusional agama, yang tidak kalah kuatnya dibandingkan untuk menyentuh ‘kesucian’ lembaga multinasional (WTO, IMF, Bank Dunia) ataupun ‘kesucian’ lembaga-lembaga negara.
Tasliman Nasrin adalah aktivis yang berani, tidak saja menyentuh kesucian institusional agama namun bahkan menggugat keberadaan agama-agama. “Semua bentuk agama, bagi saya, anakronistis. Saya memimpikan dunia tanpa agama. Agama melahirkan fundamentalisme, seperti benih yang bertunas menjadi pohon. Kita bisa menebang pohon itu, namun selama benihnya masih ada ia pasti akan menumbuhkan pohon-pohon lain. Jadi, jika benih itu tetap ada kita tidak mungkin bisa memangkas habis fundamentalisme”
Tidak ada gunanya untuk mengingkari bahwa secara de facto, agama saat ini telah menjadi suatu entitas politik. Praktek-praktek perebutan kekuasaan yang lajim dilakukan para politikus, banyak juga dilakukan para agamawan. Bahkan, banyak praktisi agama yang menerapkan praktek-praktek politik dengan kekerasan fisik, yang sudah banyak ditinggalkan oleh negara-negara modern sekuler atas alasan Hak Asasi manusia. Sangat menarik untuk mengamati kesamaan agama dengan korporasi multinasional sebagai sebuah kekuatan politik yang kekuasaannya sering melebih kekuatan negara dan tidak terawasi oleh mekanisme demokratis.
Sangat penting untuk membahas, mengapa “Mengibarkan bendera agama selu merupakan cara paling mudah untuk menghancurkan ruh kemanusiaan” seperti yang diungkap oleh Sudhamoy.
Bila saat ini kekerasan lembaga negara, terlebih multinasional, lebih banyak berupa kekerasan non fisik, di penghujung abad ke-20 ini, pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan atas nama agama masih lazim dilakukan.
Sebagai konsekuensi keberaniannya membuat novel Lajja, sebuah organisasi fundamentalis mengeluar fatwa untuk membunuh Taslima Nasrin. Ia dijuluki “Salman Rusdi Betina”. Sekarang ia harus terus berpindah-pindah tempat tinggal dan nyawanya terus diburu. Suatu kejadian yang jarang dilakukan oleh institusi negara manapun di dunia ini.
Bagi pencinta kemanusiaan, berbagai praktek biadab atas nama agama yang secara formal mengedepankan perdamaian, adalah ironi memalukan dari peradaban manusia modern.
Mungkin inilah salah satu alasan Taslima Nasrin menggunakan kata Lajja (shame=memalukan) sebagai judul novel ini.
Namun berapa banyakkah orang di dunia ini yang berani sekedar mengungkapkan dan mempertanyakan ironi kemanusiaan ini ?
No comments:
Post a Comment