Januari 2006 adalah awal perjalanan kami sebagai Associate KAIL dalam menjalankan tugas lapangan. KAIL akan menempatkan 4 orang associate live-in di lapangan untuk menggali persoalan-persoalan di masyarakat miskin kota dampingan UPC. Ada 4 kampung (setiap associate menempati satu kampung) yang dipilih sebagai lokasi live-in di kota Jakarta, yaitu kampung kamal Bunderan-Cengkareng, Kebon Tebu, Kampung Marlina-Panjaringan dan Prumpung-Jatinegara. Kegiatan ini dibagi menjadi 2 tahap, pertama selama 7 hari dari tanggal 3-9 Januari 2006 dan tahap berikutnya 3 hari dari tanggal 16-19 Januari 2006.
Berdasarkan pengalaman tinggal di lapangan inilah, kami membuat peta masalah contoh yang akan digunakan UPC-KAIL untuk membuat perencanaan kegiatan selanjutnya. Topik permasalahan yang dipilih yaitu yang dekat dengan persoalan rakyat miskin kota Jakarta, misalnya penggusuran, BBM, pendidikan, air bersih dan kesehatan.
Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa kami akan tinggal di daerah pemukiman rakyat miskin (yang identik dengan kumuh) di kota metropolitan. Tergambar dibenak kami bahwa daerah itu pastilah kotor, banyak nyamuk, panas, airnya kotor & asin (wah bakalan jarang mandi kalau ingin berhemat karena air harus beli), jarak antar rumah rapat dan padat, dll. Tapi itu suatu tantangan bagi kami yang harus bisa juga merasakan kepahitan dan derita rakyat miskin di kota, sebagai masyarakat yang terpinggirkan dan tidak mendapatkan hak sepenuhnya sebagai warga negara Indonesia.
Selama 10 hari kami tinggal di salah satu rumah CL kampung dan membiasakan diri mengikuti pola hidup mereka. Tempat tinggal yang permanent (terbuat dari triplek, kalau hujan bocor), sampah bertebaran dimana-mana, jalanan becek kalau hujan, harus antri ke MCK dan menimba/memompa dulu, bahkan air bersih untuk minum pun harus beli. Fasilitas yang ada hanyalah MCK, Pos yandu/poskamling. Profesi masyarakat disana diantaranya adalah buruh pabrik, supir, penjahit, tukang jualan dan ibu rumah tangga. Biaya hidup yang tinggi, apalagi saat itu sedang gencar-gencarnya masalah kenaikan BBM, rendahnya kesempatan belajar yang diperoleh dan biaya sekolah yang mahal (walaupun SPP ada yang gratis, tapi biaya buku dan seragam mahal) mengakibatkan banyak anak-anak yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya dan terpaksa harus mencari uang membantu orang tua. Sulitnya lapangan pekerjaan menyebabkan pengangguran semakin banyak. Makanya jangan heran dan jangan salahkan, kalau diantara mereka akhirnya mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan kriminal.
Di kampung yang saya tempati, banyak sekali pengalaman yang menjadi pelajaran hidup. Mulai dari hidup bertetangga dan bersosialisasi dengan mereka, belanja ke pasar tradisional, belajar memasak dan lain-lain. Apalagi saat masyarakat melakukan demonstrasi Dana Kompensasi BBM/BLT ke kelurahan dan kesulitan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari obrolan pasar saya jadi tahu betul bahwa kenaikan harga BBM berdampak sangat besar ke segala hal termasuk harga beras untuk makan. Mungkin kita masih bisa memilih dan meminta menu makanan apa hari ini untuk dimakan, tapi mereka? Yang lebih tepat untuk mereka adalah ’apakah kita masih bisa makan hari ini?’ Disini kita bisa melihat bahwa ada ketidakadilan, dana yang salah sasaran, kesulitan ekonomi, banyaknya pengangguran, juga tinggal di tanah illegal yang siap tidak siap tapi dipaksa harus siap kalau sewaktu-waktu rumahnya digusur.
Setelah live-in saya menjadi lebih mengerti dan tahu pahitnya menjadi masyarakat yang terpinggirkan apalagi di kota semegah Jakarta. Saat merasakan kesulitan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar sehari-hari.Di tengah menjulangnya gedung-gedung tinggi, hiruk pikuk kendaraan, orang-orang kaya yang punya banyak uang, terselip satu kehidupan yang patut kita pedulikan. Inilah kehidupan rakyat miskin di kota. (Melly)
No comments:
Post a Comment